Legenda
Prasasti Munjul
Banten
- Indonesia
Prasasti
Munjul adalah sebuah prasasti bertuliskan aksara Pallawa yang terletak di tepi
Sungai Cidangiang, Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Provinsi
Banten. Prasasti dengan bahasa Sansekerta tersebut ditulis oleh raja ketiga
Kerajaan Tarumanegara, Raja Purnawarman (395-434 M.). Menurut cerita,
Purnawarman menulis prasasti itu untuk mengabadikan sebuah peristiwa besar yang
terjadi di daerah Munjul. Peristiwa apakah itu? Temukan jawabannya dalam cerita
Legenda Prasasti Munjul berikut ini!
*
* *
Dahulu,
perairan Ujung Kulon di sekitar Selat Sunda dikuasai oleh para bajak laut yang
menjadi ancaman bagi para nelayan di daerah itu. Kaum perompak itu sering
merampas ikan hasil tangkapan para nelayan. Pada masa pemerintahan Raja
Purnawarman, terdapat suatu gerombolan bajak laut yang beranggotakan 80 orang.
Kelompok bajak laut yang sering beraksi di perairan wilayah Kerajaan
Tarumanegara itu dipimpin oleh seorang yang sakti, ia bisa berubah wujud sesuai
kehendaknya.
Pada
suatu hari, gerombolan bajak laut itu sedang merampok perahu yang ditumpangi
oleh tiga orang nelayan. Namun, baru saja para perompak itu memindahkan ikan
hasil rampasan ke kapal mereka, tiba-tiba dari kejauhan terlihat sebuah kapal
besar berbendera naga sedang menuju ke arah mereka. Kapal besar itu ternyata
adalah kapal milik Kerajaan Tarumanegara. Pemimpin bajak laut justru merasa
senang karena akan memperoleh harta rampasan yang banyak. Tanpa membuang waktu
lagi, ia segera memerintahkan anak buahnya untuk menyerang kapal kerajaan
itu.
Terjadilah
pertempuran sengit antara pasukan kerajaan yang ada di dalam kapal dengan bajak
laut. Pasukan kerajaan dipimpin oleh seorang menteri dengan dibantu oleh
seorang laksamana. Dalam pertempuran itu, kubu bajak laut ternyata lebih kuat
daripada pasukan kerajaan. Menteri, laksamana, dan sejumlah awak kapal kerajaan
tewas, dan mayat-mayat mereka dilemparkan ke tengah laut. Semua harta benda
yang ada di kapal pun dikuras habis oleh para begundal itu.
Seminggu
berselang, terlihat dua nelayan sedang memancing di laut. Mereka adalah Wamana
dan Bhimaparakrama atau Bhima. Ketika sedang asyik memancing, tiba-tiba Bhima
melihat mayat yang mengapung di atas air.
“Hai
lihat, ada orang hanyut!” seru Bhima yang segera menghampiri sesosok tubuh yang
tertelungkup di atas sebuah tameng kayu itu. Ternyata orang itu masih hidup,
hanya saja tubuhnya penuh dengan luka yang amat parah. Kedua nelayan itu pun
segera membawa tubuh orang malang tersebut ke pantai untuk diberi pertolongan.
“Hai,
sepertinya dia prajurit kerajaan,” kata Wamana saat melihat pakaian yang
dikenakan orang itu.
“Kamu
benar,” sahut Bhima.
Setelah
siuman, prajurit itu pun menceritakan peristiwa yang telah dialaminya mengenai
kejadian perompakan seminggu yang lalu. Setelah mendengar cerita itu, Wamana
dan Bhima segera mengantar prajurit itu ke istana untuk melapor kepada Raja
Purnawarmana.
“Betul-betul
kejam dan biadab para bajak laut itu!” kata Raja Purnawarman geram begitu
mendengar laporan tersebut. “Dengan ini, aku menyatakan perang terhadap
gerombolan bajak laut itu!” ucap sang Raja.
Keesokan
harinya, puluhan kapal perang kerajaan bertolak meninggalkan pelabuhan dan dipimpin
langsung oleh Raja Purnawarman yang didampingi oleh Panglima Cakrawarman,
Senopati Arwajala, serta Nagawarman. Wamana dan Bhima pun ikut serta dalam
rombongan itu. Setelah berlayar selama beberapa hari, pada suatu malam armada
kerajaan tiba di perairan Ujung Kulon. Dalam kegelapan yang mencekam, tampak
dua titik cahaya kecil di tengah lautan.
“Hai,
lihat cahaya itu! Aku yakin itu adalah penerangan kapal bajak laut,” kata
Panglima Cakrawarman kepada Senopati Arwajala. Bergegas mereka melaporkan hal ini
kepada sang Raja.
Raja
Purnawarman kemudian segera memerintahkan seluruh pasukannya untuk bersiap-siap
menyerang. Puluhan kapal perang perlahan-lahan mendekati kapal milik bajak laut
itu dan lalu mengepungnya.
Sementara
itu, gerombolan bajak laut yang berada di dalam kapal itu tidak menyadari
kehadiran pasukan kerajaan. Rupanya, mereka sudah terlelap, kecuali tiga orang
yang terlihat masih terjaga. Itu pun mereka sedang asyik bermain judi di bawah
penerangan lampu damar. Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara-suara desingan
yang begitu ramai. Ketika mereka hendak beranjak, ratusan mata tombak menyerbu
ke kapal mereka.
“Kapal
kita diserang... Kapal kita diserang!” seru ketiga bajak laut itu panik.
Pemimpin
bajak laut dan anak-anak buahnya yang lain terbangun dari tidur mereka. Salah
seorang dari mereka bertindak cepat dengan melompat ke jendela untuk mencari
tahu apa yang sedang terjadi. Alangkah terkejut ia saat melihat puluhan kapal
milik kerajaan telah mengepung kapal mereka.
“Kapal
kita dikepung! Kapal kita dikepung!” teriaknya.
Belum
sempat mereka menyiapkan senjata, tiba-tiba terdengar bunyi terompet yang
menggema.
“Nguuunngggg..!!!
Nguuunngggg..!!! Nguuunngggg..!!!”
Begitu
terompet itu selesai berbunyi tiga kali, ratusan tombak dan anak panah meluncur
ke kapal gerombolan bajak laut. Bersamaan dengan itu, suara-suara kayu hancur
dan pekikan orang-orang yang terkena tombak dan anak panah pun terdengar. Tidak
ada perlawanan yang berarti dari para bajak laut. Akhirnya, mereka pun dapat
ditaklukkan sebelum pagi menjelang. Dari 80 anggota bajak laut tersebut, 27
orang di antaranya tewas, sedangkan sisanya menjadi tawanan kerajaan.
Setelah
suasana tenang, Wamana bersama Bhima dan beberapa prajurit lain segera naik
kapal bajak laut untuk mencari sisa-sisa gerombolan yang mungkin masih
bersembunyi, namun tidak seorangpun ditemukan.
Ketika
Wamana hendak turun dari kapal bajak laut, tiba-tiba terdengar suara yang
mencurigakan. Cepat-cepatlah ia kembali masuk ke kapal. Ternyata dugaannya
benar. Ia menemukan seorang pria yang berseragam prajurit kerajaan yang baunya
amis sekali. Ketika Wamana menanyainya, prajurit itu justru melompat ke laut.
Setelah kejadian itu, Wamana ke kapal untuk bergabung bersama pasukan kerajaan.
Sementara
itu, Raja Purnawarman dan para panglimanya sedang menanyai satu persatu para
tawanan mengenai siapa pemimpin mereka. Setelah ditanya, tak seorang dari
mereka yang mengetahuinya karena pemimpin mereka selalu berubah wujud. Namun,
salah seorang dari tawanan itu memberitahukan mengenari ciri-ciri pemimpin
mereka yaitu berbau amis dan berpenyakit asma. Wamana yang mendengar keterangan
tersebut curiga terhadap prajurit yang melompat ke laut tadi dan
menceritakannya kepada Raja.
Setelah
mendengar keterangan itu, rombongan sang Raja segera bertolak menuju Pantai
Teluk Lada. Selanjutnya mereka menyusuri aliran Sungai Cidangiang hingga masuk
ke daerah pedalaman. Setiba di sebuah kampung di tepi sungai yang kini bernama
Desa Lebak, mereka disambut meriah oleh tetua kampung dan para warga. Untuk
merayakan keberhasilan para pasukan kerajaan dalam menumpas gerombolan bajak
laut, pihak kerajaan dan penduduk kampung akan mengabadikan peristiwa tersebut.
Para prajurit serta penduduk setempat segera mempersiapkan segala sesuatunya.
Kaum laki-laki sibuk menyiapkan puluhan kerbau untuk disembelih. Sedangkan kaum
perempuan bertugas memasak makanan.
Saat
tiba waktu makan siang, kaum perempuan terlihat sibuk mengantarkan makanan
untuk para pekerja yang sedang beristirahat. Wamana dan Bhima terlihat berbaur
dengan para pekerja lainnya yang duduk di dekat tangga pondok tetua kampung.
Sang Raja bersama para panglimanya sedang beristirahat di dalam pondok itu.
Tidak berapa lama, terlihat barisan wanita hendak mengantarkan makanan untuk
sang Raja. Di antara mereka, tampak seorang gadis cantik berjalan di barisan
paling belakang sedang membawa dua buah kendi air minum.
Ketika
gadis itu melewati tangga pondok itu, Wamana tersentak kaget. Sejenak ia
terdiam sambil mengembang-kempiskan hidungnya. Indra penciumannya merasakan bau
amis persis yang pernah dikenalnya. Tanpa berpikir panjang, ia cepat-cepat
berlari masuk ke dalam pondok dengan melompati beberapa anak tangga untuk
menyusul gadis itu.
Saat
tiba di dalam pondok, Wamana langsung melompat dan merangkul si gadis yang baru
saja meletakkan kendi di hadapan sang Prabu. Tubuh wanita itu pun terdorong dan
terjerembab ke depan karena tertindih oleh tubuh Wamana.
“Huh,
kena kamu sekarang!” seru Wamana sambil menekan kepala gadis itu.
Setelah
itu, Wamana segera menendang kendi air yang dibawa gadis tadi hingga terpental
dan pecah. Semua terheran-heran melihat sikap Wamana, termasuk Bhima.
“Hai,
Wamana! Apa yang kamu lakukan terhadap gadis itu? Hentikan leluconmu itu!” seru
Bhima.
Dengan
nafas tersengau-sengau, Wamana menjelaskan bahwa kendi itu berisi air minum
yang telah dicampur racun. Ia juga mengatakan bahwa gadis itu berbau amis.
“Masih
ingatkah kalian keterangan para tawanan tadi? Bukankah ciri-ciri pemimpin bajak
laut berbau amis dan dapat berubah wujud?” kata Wamana.
Mendengar
penjelasan tersebut, sang Raja langsung memerintahkan panglimanya untuk
meringkus gadis jelmaan pemimpin bajak laut itu. Ketika hendak diringkus,
tiba-tiba gadis itu berubah wujud menjadi pria bertubuh besar. Ia murka dan
meronta-ronta sehingga Wamana yang berada di atas punggungnya pun terpental ke
belakang.
Secepat
kilat Bhima maju dan mencekik leher pemimpin bajak laut itu lalu mengangkatnya
ke atas hingga matanya melotot dan wajahnya memerah. Cekikan Bhima amat kuat
membuat tubuh pemimpin perampok itu menjadi lemas. Bhima pun segera melepaskan
cekikannya hingga tubuh pria itu terjatuh dengan lunglai ke lantai.
“Prajurit,
cepat ringkus dia!” seru Bhima.
Setelah
itu, sang Raja memerintahkan para prajuritnya agar pemimpin gerombolan itu
dihukum mati lalu dibuang ke laut. Dengan tewasnya pemimpin gerombolan itu,
maka sempurnalah penumpasan gerombolan bajak laut oleh pasukan kerajaan. Untuk
mengabadikan peristiwa ini, pasukan kerajaan bersama penduduk Lebak membangun
prasasti di tepi Sungai Cidangiang. Prasasti itu ditulis langsung oleh Raja
Purnawarman dengan menggunakan aksara Pallawa dan berbahasa Sansekerta. Bunyi
prasasti itu antara lain seperti berikut:
“Vikrantayam
vanipateh, Prabbhuh satyaparakramah, Narendraddhvajabutena crimatah,
Purnnavarmmanah”
Artinya:
(Ini
tanda) penguasa dunia yang perkasa, prabu yang setia serta penuh kepahlawanan,
yang menjadi panji segala raja, yang termasyur Purnawarman.
Hingga
saat ini, prasasti tersebut masih dapat kita temukan di tepi Sungai Cidangiang,
Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Oleh
masyarakat setempat, prasasti tersebut dinamakan Prasasti Munjul.
*
* *
Demikian
cerita Legenda Prasasti Munjul dari Banten. Pesan moral yang dapat dipetik dari
cerita di atas adalah bahwa orang yang suka berbuat jahat seperti para
gerombolan bajak laut tersebut akan menerima ganjarannya.
(Samsuni/sas/236/02-11)
0 komentar:
Terima Kasih sudah berkunjung dan berkomentar, semoga menjadikan sebagai bahan pengembangan dalam penulisan selanjutnya